 
Kanjeng Ratu Kidul
Di suatu masa, hiduplah seorang putri cantik bernama Kadita. Karena 
kecantikannya, ia pun dipanggil Dewi Srengenge yang berarti matahari 
yang indah. Dewi Srengenge adalah anak dari Raja Munding Wangi. Meskipun
 sang raja mempunyai seorang putri yang cantik, ia selalu bersedih 
karena sebenarnya ia selalu berharap mempunyai anak laki-laki. Raja pun 
kemudian menikah dengan Dewi Mutiara, dan mendapatkan putra dari 
perkimpoian tersebut. Maka, bahagialah sang raja.
Dewi Mutiara ingin agar kelak putranya itu menjadi raja, dan ia pun 
berusaha agar keinginannya itu terwujud. Kemudian Dewi Mutiara datang 
menghadap raja, dan meminta agar sang raja menyuruh putrinya pergi dari 
istana. Sudah tentu raja menolak. “Sangat menggelikan. Saya tidak akan 
membiarkan siapapun yang ingin bertindak kasar pada putriku”, kata Raja 
Munding Wangi. Mendengar jawaban itu, Dewi Mutiara pun tersenyum dan 
berkata manis sampai raja tidak marah lagi kepadanya. Tapi walaupun 
demikian, dia tetap berniat mewujudkan keinginannya itu.
Pada pagi harinya, sebelum matahari terbit, Dewi Mutiara mengutus 
pembantunya untuk memanggil seorang dukun. Dia ingin sang dukun mengutuk
 Kadita, anak tirinya. “Aku ingin tubuhnya yang cantik penuh dengan 
kudis dan gatal-gatal. Bila engkau berhasil, maka aku akan memberikan 
suatu imbalan yang tak pernah kau bayangkan sebelumnya.” Sang dukun 
menuruti perintah sang ratu. Pada malam harinya, tubuh Kadita telah 
dipenuhi dengan kudis dan gatal-gatal. Ketika dia terbangun, dia 
menyadari tubuhnya berbau busuk dan dipenuhi dengan bisul. Puteri yang 
cantik itu pun menangis dan tak tahu harus berbuat apa.
Ketika Raja mendengar kabar itu, beliau menjadi sangat sedih dan 
mengundang banyak tabib untuk menyembuhkan penyakit putrinya. Beliau 
sadar bahwa penyakit putrinya itu tidak wajar, seseorang pasti telah 
mengutuk atau mengguna-gunainya. Masalah pun menjadi semakin rumit 
ketika Ratu Dewi Mutiara memaksanya untuk mengusir puterinya. “Puterimu 
akan mendatangkan kesialan bagi seluruh negeri,” kata Dewi Mutiara. 
Karena Raja tidak menginginkan puterinya menjadi gunjingan di seluruh 
negeri, akhirnya beliau terpaksa menyetujui usul Ratu Mutiara untuk 
mengirim putrinya ke luar dari negeri itu.
Puteri yang malang itu pun pergi sendirian, tanpa tahu kemana harus 
pergi. Dia hampir tidak dapat menangis lagi. Dia memang memiliki hati 
yang mulia. Dia tidak menyimpan dendam kepada ibu tirinya, malahan ia 
selalu meminta agar Tuhan mendampinginya dalam menanggung penderitaan..
Hampir tujuh hari dan tujuh malam dia berjalan sampai akhirnya tiba di 
Samudera Selatan. Dia memandang samudera itu. Airnya bersih dan jernih, 
tidak seperti samudera lainnya yang airnya biru atau hijau. Dia melompat
 ke dalam air dan berenang. Tiba-tiba, ketika air Samudera Selatan itu 
menyentuh kulitnya, mukjizat terjadi. Bisulnya lenyap dan tak ada 
tanda-tanda bahwa dia pernah kudisan atau gatal-gatal. Malahan, dia 
menjadi lebih cantik daripada sebelumnya. Bukan hanya itu, kini dia 
memiliki kuasa untuk memerintah seisi Samudera Selatan. Kini ia menjadi 
seorang peri yang disebut Nyi Roro Kidul atau Ratu Pantai Samudera 
Selatan yang hidup selamanya.
Kanjeng Ratu Kidul = Ratna Suwinda
Tersebut dalam Babad Tanah Jawi (abad ke-19), seorang pangeran dari 
Kerajaan Pajajaran, Joko Suruh, bertemu dengan seorang pertapa yang 
memerintahkan agar dia menemukan Kerajaan Majapahit di Jawa Timur. 
Karena sang pertapa adalah seorang wanita muda yang cantik, Joko Suruh 
pun jatuh cinta kepadanya. Tapi sang pertapa yang ternyata merupakan 
bibi dari Joko Suruh, bernama Ratna Suwida, menolak cintanya. Ketika 
muda, Ratna Suwida mengasingkan diri untuk bertapa di sebuah bukit. 
Kemudian ia pergi ke pantai selatan Jawa dan menjadi penguasa spiritual 
di sana. Ia berkata kepada pangeran, jika keturunan pangeran menjadi 
penguasa di kerajaan yang terletak di dekat Gunung Merapi, ia akan 
menikahi seluruh penguasa secara bergantian.
Generasi selanjutnya, Panembahan Senopati, pendiri Kerajaan Mataram 
Ke-2, mengasingkan diri ke Pantai Selatan, untuk mengumpulkan seluruh 
energinya, dalam upaya mempersiapkan kampanye militer melawan kerajaan 
utara. Meditasinya menarik perhatian Kanjeng Ratu Kidul dan dia berjanji
 untuk membantunya. Selama tiga hari dan tiga malam dia mempelajari 
rahasia perang dan pemerintahan, dan intrik-intrik cinta di istana bawah
 airnya, hingga akhirnya muncul dari Laut Parangkusumo, kini Yogyakarta 
Selatan. Sejak saat itu, Ratu Kidul dilaporkan berhubungan erat dengan 
keturunan Senopati yang berkuasa, dan sesajian dipersembahkan untuknya 
di tempat ini setiap tahun melalui perwakilan istana Solo dan 
Yogyakarta.
Begitulah dua buah kisah atau legenda mengenai Kanjeng Ratu Kidul, atau 
Nyi Roro Kidul, atau Ratu Pantai Selatan. Versi pertama diambil dari 
buku Cerita Rakyat dari Yogyakarta dan versi yang kedua terdapat dalam 
Babad Tanah Jawi. Kedua cerita tersebut memang berbeda, tapi anda jangan
 bingung. Anda tidak perlu pusing memilih, mana dari keduanya yang 
paling benar. Cerita-cerita di atas hanyalah sebuah pengatar bagi 
tulisan selanjutnya.
 
 
Kanjeng Ratu Kidul dan Keraton Yogyakarta
Percayakah anda dengan cerita tentang Kanjeng Ratu Kidul, atau Nyi Roro 
Kidul, atau Ratu Pantai Selatan? Sebagian dari anda mungkin akan berkata
 TIDAK. Tapi coba tanyakan kepada mereka yang hidup dalam zaman atau 
lingkungan Keraton Yogyakarta. Mereka yakin dengan kebenaran cerita ini.
 Kebenaran akan cerita Kanjeng Ratu Kidul memang masih tetap menjadi 
polemik. Tapi terlepas dari polemik tersebut, ada sebuah fenomena yang 
nyata, bahwa mitos Ratu Kidul memang memiliki relevansi dengan 
eksistensi Keraton Yogyakarta. Hubungan antara Kanjeng Ratu Kidul dengan
 Keraton Yogyakarta paling tidak tercantum dalam Babad Tanah Jawi 
(cerita tentang kanjeng Ratu Kidul di atas, versi kedua). Hubungan 
seperti apa yang terjalin di antara keduanya?
Y. Argo Twikromo dalam bukunya berjudul Ratu Kidul menyebutkan bahwa 
masyarakat adalah sebuah komunitas tradisi yang mementingkan 
keharmonisan, keselarasan dan keseimbangan hidup. Karena hidup ini tidak
 terlepas dari lingkungan alam sekitar, maka memfungsikan dan memaknai 
lingkungan alam sangat penting dilakukan.
Sebagai sebuah hubungan komunikasi timbal balik dengan lingkungan yang 
menurut masyarakat Jawa mempunyai kekuatan yang lebih kuat, masih 
menurut Twikromo, maka penggunaan simbol pun sering diaktualisasikan. 
Jika dihubungkan dengan makhluk halus, maka Javanisme mengenal penguasa 
makhluk halus seperti penguasa Gunung Merapi, penguasa Gunung Lawu, 
Kayangan nDelpin, dan Laut Selatan. Penguasa Laut Selatan inilah yang 
oleh orang Jawa disebut Kanjeng Ratu Kidul. Keempat penguasa tersebut 
mengitari Kesultanan Yogyakarta. Dan untuk mencapai keharmonisan, 
keselarasan dan keseimbangan dalam masyarakat, maka raja harus 
mengadakan komunikasi dengan “makhluk-makhluk halus” tersebut.
Menurut Twikromo, bagi raja Jawa berkomunikasi dengan Ratu Kidul adalah 
sebagai salah satu kekuatan batin dalam mengelola negara. Sebagai 
kekuatan datan kasat mata (tak terlihat oleh mata), Kanjeng Ratu Kidul 
harus dimintai restu dalam kegiatan sehari-hari untuk mendapatkan 
keselamatan dan ketenteraman.
Kepercayaan terhadap Ratu Kidul ini diaktualisasikan dengan baik. Pada 
kegiatan labuhan misalnya, sebuah upacara tradisional keraton yang 
dilaksanakan di tepi laut di selatan Yogyakarta, yang diadakan tiap 
ulang tahun Sri Sultan Hamengkubuwono, menurut perhitungan tahun Saka 
(tahun Jawa). Upacara ini bertujuan untuk kesejahteraan sultan dan 
masyarakat Yogyakarta.
Kepercayaan terhadap Kanjeng Ratu Kidul juga diwujudkan lewat tari 
Bedaya Lambangsari dan Bedaya Semang yang diselenggarakan untuk 
menghormati serta memperingati Sang Ratu. Bukti lainnya adalah dengan 
didirikannya sebuah bangunan di Komplek Taman Sari (Istana di Bawah 
Air), sekitar 1 km sebelah barat Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, yang
 dinamakan Sumur Gumuling. Tempat ini diyakini sebagai tempat pertemuan 
sultan dengan Ratu Pantai Selatan, Kanjeng Ratu Kidul.
Penghayatan mitos Kanjeng Ratu Kidul tersebut tidak hanya diyakini dan 
dilaksanakan oleh pihak keraton saja, tapi juga oleh masyarakat pada 
umumnya di wilayah kesultanan. Salah satu buktinya adalah adanya 
kepercayaan bahwa jika orang hilang di Pantai Parangtritis, maka orang 
tersebut hilang karena “diambil” oleh sang Ratu.
Selain Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, mitos Kanjeng Ratu Kidul juga 
diyakini oleh saudara mereka, Keraton Surakarta Hadiningrat. Dalam Babad
 Tanah Jawi memang disebutkan bahwa Kanjeng Ratu Kidul pernah berjanji 
kepada Panembahan Senopati, penguasa pertama Kerajaan Mataram, untuk 
menjaga Kerajaan Mataram, para sultan, keluarga kerajaan, dan masyarakat
 dari malapetaka. Dan karena kedua keraton (Yogyakarta dan Surakarta) 
memiliki leluhur yang sama (Kerajaan Mataram), maka seperti halnya 
Keraton Yogyakarta, Keraton Surakarta juga melaksanakan berbagai bentuk 
penghayatan mereka kepada Kanjeng Ratu Kidul. Salah satunya adalah 
pementasan tari yang paling sakral di keraton, Bedoyo Ketawang, yang 
diselenggarakan setahun sekali pada saat peringatan hari penobatan para 
raja. Sembilan orang penari yang mengenakan pakaian tradisional 
pengantin Jawa mengundang Ratu Kidul untuk datang dan menikahi 
susuhunan, dan kabarnya sang Ratu kemudian secara gaib muncul dalam 
wujud penari kesepuluh yang nampak berkilauan.
Kepercayaan terhadap Ratu Kidul ternyata juga meluas sampai ke daerah 
Jawa Barat. Anda pasti pernah mendengar, bahwa ada sebuah kamar khusus 
(nomor 308) di lantai atas Samudera Beach Hotel, Pelabuhan Ratu, yang 
disajikan khusus untuk Ratu Kidul. Siapapun yang ingin bertemu dengan 
sang Ratu, bisa masuk ke ruangan ini, tapi harus melalui seorang 
perantara yang menyajikan persembahan buat sang Ratu. Pengkhususan kamar
 ini adalah salah satu simbol ‘gaib’ yang dipakai oleh mantan presiden 
Soekarno.
Sampai sekarang, di masa yang sangat modern ini, legenda Kanjeng Ratu 
Kidul, atau Nyi Roro Kidul, atau Ratu Pantai Selatan, adalah legenda 
yang paling spektakuler. Bahkan ketika anda membaca kisah ini, banyak 
orang dari Indonesia atau negara lain mengakui bahwa mereka telah 
bertemu ratu peri yang cantik mengenakan pakaian tradisional Jawa. Salah
 satu orang yang dikabarkan juga pernah menyaksikan secara langsung 
wujud sang Ratu adalah sang maestro pelukis Indonesia, (almarhum) 
Affandi. Pengalamannya itu kemudian ia tuangkan dalam sebuah lukisan.
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar