Fun To Victory
Kairo - Seperti ribuan orang Suriah yang menyelamatkan diri dari
perang saudara di negerinya, Abdel Hamid mengira Mesir adalah pilihan
terbaik mereka. Tapi ternyata pilihannya salah.
"Aku
pikir Suriah dan Mesir adalah negara kembar dengan rakyat yang
bersahabat dan fasilitas yang baik, selain itu amat mudah untuk ke sini
karena tak perlu visa," ujar pemuda berusia 20 tahun ini.
Namun,
ia kecewa sebab kebahagiaannya di Mesir tak berlangsung lama. Sejak awal
krisis politik, rakyat Suriah di Mesir mulai merasa tak nyaman terutama
adanya tuduhan bahwa orang Suriah dan Palestina terlibat dalam
demonstrasi dan bentrokan di negara yang dilanda kerusuhan tersebut.
Begitu
juga orang Mesir yang sering memandang orang Amerika Serikat dengan
muka benci. AS menjadi target cemoohan, baik pada demonstrasi
Islamis maupun sekuler.
Pemandangan
foto Presiden Barack Obama yang tercoreng sudah tidak asing lagi.
Begitu juga dengan foto duta besar AS yang dibubuhi tulisan berisi
cercaan dan hinaan.
Demonstran anti-Morsi menuding Washington
memalingkan muka saat Ikhwanul Muslimin semakin otoriter. Di sisi lain,
kaum Islamis membenci AS karena dinilai membiarkan penggulingan Morsi.
Semakin
banyak warga Mesir terobsesi dengan teori konspirasi, maka orang asing
di negeri ini menjadi korban agitasi media yang ditoleransi oleh rezim
yang sedang berkuasa.
Hidup dalam Ketakutan
Agitasi
terhadap pengungsi Suriah dan Palestina sudah masuk pada dimensi
serius. Badan militer dan keamanan Mesir mengklaim Ikhwanul Muslimin
membayar pengungsi Suriah untuk menembak tentara dan pengunjuk rasa
anti-Morsi.
Televisi pemerintah dan swasta turut menyebarkan rumor ini, mendorong kampanye kebencian terhadap orang Palestina dan Suriah.
Mostafa El-Gindi, seorang mantan anggota parlemen, dalam siaran televisi swasta ONTV menganjurkan penutupan jalan di dekat perbatasan. Dengan cara ini 'para non-Mesir' dapat teridentifikasi, katanya.
Warga Suriah dan Palestina yang tertangkap di pos pemeriksaan harus dieksekusi, tegas El-Gindi kepada jaringan media Jerman, Deutsche Welle.
Sepanjang
kekuasaan Presiden Morsi, warga Suriah dapat masuk Mesir tanpa visa.
Namun kini, Mesir menuntut warga Suriah memiliki visa sebelum masuk
Mesir.
"Pihak berwenang mesir melarang masuk dua pesawat dua pekan lalu,"
ungkap Ahmed (27), seorang warga Suriah di Mesir.
"Satu
pesawat datang dari Beirut dan satu lagi dari Damaskus. Pesawat harus
balik kanan dengan seluruh penumpang karena aturan visa," katanya.
Warga
Palestina yang sudah berada di Mesir juga tidak merasa nyaman karena
dicurigai mempunyai hubungan dengan kelompok Hamas, yang berakar pada
Ikhwanul Muslimin.
Hamas disalahkan atas banyak kekerasan yang
terjadi di Mesir. Mantan presiden yang kini ditahan, Morsi, dituding
kabur dari penjara dengan bantuan Hamas pada revolusi melawan Hosni
Mubarak tahun 2011 lalu.
Rezim Mesir yang kini didukung militer
diuntungkan oleh rasa curiga rakyat terhadap orang asing di Mesir.
Ibaratnya, membunuh dua burung dengan sebuah batu.
Di satu sisi,
militer dapat berperan sebagai penyelamat negeri melawan konspirator
asing. Sedangkan di sisi lain, militer dapat 'cuci tangan' atas
penindasan yang mereka lancarkan, termasuk 51 orang yang tewas di Tahrir
Square dan menaruh kesalahan pada Palestina dan Suriah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar