Berulang kali orang tiba-tiba kalap di sungai yang pernah ditumbali oleh
Mpu Baradah saat memecah Kerajaan Kahuripan menjadi dua yakni Kerajaan
Panjalu dan Jenggala sekitar tahun 1009.
Dan yang terakhir, yang menjadi 'tumbal' Sungai Brantas Kediri adalah
dua bocah bernama Deny Kurniawan (12) dan Dwi (11), warga Kelurahan
Balowerti, Kecamatan Kota, Kediri pada 20 September 2011 lalu. Keduanya
tiba-tiba terbawa arus di areal pembangunan proyek Jembatan Brawijaya
Kediri yang difungsikan sebagai pengganti jembatan lama yang pada 18
Maret nanti berusia 144 tahun.
Cerita tentang penunggu buaya putih ini juga banyak diceritakan di
catatan Belanda ketika awal-awal pembangunan proyek jembatan lama Kediri
sekitar tahun 1836-876.
"Dalam catatan Belanda memang disebutkan bahwa ada buaya putih penunggu
jembatan yang dibangun oleh kolonial Belanda," kata Olivier Johanes,
pengamat sejarah Indonesia dari Belanda dalam tulisan yang di tulisnya
kepada grup Pelestari Sejarah dan Budaya Kediri (PASAK).
Tidak hanya di sekitar jembatan lama Kediri, ada yang lebih misterius
lagi soal buaya putih yang berada di aliran Sungai Brantas wilayah
Kecamatan Kras Kabupaten Kediri yang dikenal dengan sebutan 'Badug
Seketi'.
Badug Seketi dianggap tempat yang sangat wingit dan angker di daerah
Kecamatan Kras. Dari cerita tutur masyarakat setempat, si buaya putih
dulu awalnya bersahabat dengan penduduk sekitar. Setiap kali penduduk
hajatan dan minta tolong kepada si buaya putih kebutuhan hajatan itu
selalu disediakan.
Kebutuhan yang disediakan itu antara lain, peralatan dapur seperti piring, sendok dan peralatan pecah belah yang lainnya.
"Cerita kerjasama antara penghuni Sungai Brantas dengan masyarakat itu
terjadi hingga sekitar tahun 1970 an. Karena keserakahan, penduduk yang
sengaja menyembunyikan peralatan yang dipinjamkan tersebut, berakhir
pulalah hubungan antara si buaya putih dengan warga sekitar," kata Abdul
Kholik warga Desa Seketi Kecamatan Kras.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar