"Tidurnya orang berpuasa adalah ibadah," itulah kalimat yang sering
didengar dan sering disampaikan oleh penceramah saat bulan Ramadan. Tapi
apakah benar hal tersebut?
Inilah Hadits yang dijadikan sandaran oleh penceramah:
نَوْمُ الصَّائِمِ عِبَادَةٌ ، وَصُمْتُهُ تَسْبِيْحٌ ، وَدُعَاؤُهُ مُسْتَجَابٌ ، وَعَمَلُهُ مُضَاعَفٌ
“Tidurnya orang yang berpuasa adalah ibadah. Diamnya adalah tasbih.
Do’anya adalah do’a yang mustajab. Pahala amalannya pun akan dilipat
gandakan.”
Perawi hadits ini adalah Abdullah bin Aufi. Hadits ini dibawakan oleh Al
Baihaqi dalam Syu’abul Iman 3/1437. Dalam sanad hadits tersebut
terdapat perawi yang bernama Ma’ruf bin Hassan dan Sulaiman bin Amr
An-Nakha’i.
Setelah membawakan hadits di atas, Al-Baihaqi memberikan komentar, bahwa
Ma'ruf bin Hassan adalah perawi yang dhaif (lemah), sementara Sulaiman
bin Amr lebih dhaif dari Ma'ruf bin Hassan.
"Tidurnya orang berpuasa adalah ibadah," sebenarnya bisa kita bawa ke
makna yang benar. Sebagaimana para ulama biasa menjelaskan suatu kaedah
bahwa setiap amalan yang statusnya mubah (seperti makan, tidur dan
berhubungan suami istri) bisa mendapatkan pahala dan bernilai ibadah
apabila diniatkan untuk melakukan ibadah.
Sebagaimana Imam An-Nawawi dalam Syarah Muslim (6/16) mengatakan,
أَنَّ الْمُبَاح إِذَا قَصَدَ بِهِ وَجْه اللَّه تَعَالَى صَارَ طَاعَة ، وَيُثَاب عَلَيْهِ
“Sesungguhnya perbuatan mubah, jika dimaksudkan dengannya untuk
mengharapkan wajah Allah Ta’ala, maka dia akan berubah menjadi suatu
ketaatan dan akan mendapatkan balasan (ganjaran).”
Jadi, tidur bisa bernilai ibadah, jika tujuan tidurnya adalah untuk
mengharapkan keridho'an Allah. Dan bukan bermaksud untuk
bermalas-malasan apalagi sampai lalai terhadap pekerjaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar