Kamis, 01 Agustus 2013

Para Jenderal Indonesia Berburu Kekuasaan

Fun To Victory

Jakarta - Mantan Panglima TNI Endriartono Sutarto, disebut-sebut bakal ikut Konvensi Partai Demokrat. Jadi tidaknya Sutarto ikut Konvensi, begitu pula berhasil menang atau tidak, kabar itu sudah cukup menarik perhatian.Bila Sutarto yang nota bene pengurus inti Partai Nasdem ikut Konvensi Demokrat, aksi ini otomatis akan jadi pergunjingan. Sebab Demokrat dan Nasdem, sama-sama bersaing dalam Pemilu 2014
Alasan lainnya, keikutsertaan Sutarto dalam persaingan "Road To RI-1", bukan hanya mempertontonkan sebuah manuver politik dengan paradigma baru. Dimana aksi lompat pagar anggota parpol, bukan lagi hal yang harus ditabukan. Tetapi lebih dari itu semakin memperbanyak jumlah jenderal pensiunan yang berebut kursi Presiden.
Selain Sutarto, sudah ada Wiranto, Prabowo Subianto, Sutiyoso dan Djoko Santoso (mantan KSAD) yang masuk dalam daftar. Dan kalau Pramono Eddhie yang juga eks Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) dan ipar SBY, ikut dalam race tersebut, maka pertarungan untuk memperebutkan posisi RI-1 pada 2014 nanti, semakin ramai.
Pemilu Presiden 2014 bakal disebut sebagai sebuah panggung yang mempertontonkan "Perang Bintang". Sebab para pesertanya banyak yang memiliki pangkat istimewa dengan simbol bintang (emas).
Ikut serta dalam perebutan kursi RI-1 memang merupakan hak azasi dan demokrasi setiap orang. Yang menarik adalah kalau para peserta lomba itu, kebanyakan berasal dari korps militer. Sebagai satu korps, mereka diikat dan dipersatukan oleh sumpah sapta marga prajurit.
Tapi kini masyarkat menyaksikan bagaimana mereka saling bersaing dalam memperebutkan kursi Presiden. Pertanyaan mengemuka adalah masih eksiskah perasaan satu korps yang diikat oleh sumpah prajurit di antara mereka?
Tak bisa dipungkiri, kursi Presiden RI merupakan sebuah simbol kekuasaan. Ini berarti yang dilakukan oleh para pensiunan jenderal itu adalah memperebutan sebuah simbol. Para jenderal itu sendiri, sebelumnya merupakan simbol-simbol kekuasaan. Mereka tergolong pihak-pihak yang sudah pernah menikmati kekuasaan.
Maka yang terbersit dalam logika awam adalah ternyata para jenderal yang sudah pernah berada di lingkar kekuasaan itu, belum puas memegang kekuasaan yang pernah mereka alami. Dengan alasan mereka ingin membangun Indonesia menjadi sebuah negara yang lebih baik, seakan-akan hanya merekalah yang bisa melakukan pekerjaan itu.
Sejujurnya ada rasa kurang percaya atas alasan tersebut. Yang terlintas adalah sebetulnya manusia modern, pada era sekarang cukup haus atas kekuasaan. Atau betapa kekuasaan itu sudah menjadi seperti surga nyata di dunia.
Disebut surga nyata, karena konon kekuasaan menawarkan seambrek kenyamanan dan kenikmatan. Kenyamaan dan kenikmatan itu, langsung bisa dinikmati. Tidak perlu menunggu sampai akhir zaman.
Menjadi penguasa di Indonesia tak ubahnya dengan raja dari negeri dalam cerita dongeng 1001 malam. Kekuasaan yang diberikan oleh rakyat, setelah di tangan dapat digunakan dan dimanfaatkan semaunya.
Begitu menjadi Presiden, kehidupan duniawi otomatis berubah drastis. Begitu berkuasa, segala-galanya bisa berubah. Dari miskin menjadi kaya. Dari kaya menjadi super kaya. Hanya yang enak dan suka cita saja yang ada. Tidak ada penderitaan, sekalipun jutaan rakyat masih terus menderita.
Istana atau Rumah Presiden RI bagaikan sebuah "surga"
Yang memancing rasa ingin tahu adalah mengapa para pensiunan jenderal itu tiba-tiba berlomba memperebutkan kursi kekuasaan? Mengapa sebagai sesama jenderal mereka saling berrebut? Mengapa mereka sudah tidak bisa kompak seperti ketika masih berkuasa?
Di era Presiden Soeharto (1966 - 1998), kekompakan di antara para jenderal sangat kuat. Kekompakan itu bahkan turun sampai ke level paling bawah. Kekompakan dan sistem garis komando di kalangan militer, menjadi rujukan banyak kalangan. Sistem satu garis komando itu dianggap efektif dalam menerjemahkan sebuah kebijakan. Perasaan senasib di antara sesama korps militer, sangat tinggi.
Dari semua jenderal yang disebutkan di atas, hanya dua yang nota bene tidak pernah hidup secara langsung dalam lingkaran kekuasaan Presiden Soeharto. Mereka, relatif masih muda. Yakni Djoko Santoso dan Pramono Eddhie. Mereka berdua menjadi jenderal setelah jenderal Soeharto lengser.
Namun jenderal-jenderal pensiunan lainnya, yang lebih senior dari Djoko dan Pramono, mereka semua tumbuh dan besar dalam sistem yang diciptakan Soeharto. Wiranto bekas ajudan Presiden Soeharto. Bukan sebuah rahasia lagi kalau kehidupan Wiranto sebagai (bekas) ajudan Presiden jauh lebih baik dibanding dengan teman seangkatannya.
Prabowo Subianto bekas anak mantu Presiden Soeharto. Siapa yang tidak tahu, betapa besar pengaruh kekuasaan Prabowo sebagai imbas dari statusnya selaku anggota keluarga Cendana.
Sutiyoso, eks Pangdam Jaya yang menjadi "komandan alat pemukul" di ibukota, dalam rangka melindungi interest Presiden Soeharto. Sebagai "tukang pukul" di ibu kota pemerintahan RI, Sutiyoso memperoleh demikian banyak fasilitas dan proteksi. Membuat kehidupannya serba nyaman.
Posisi Endriartono Sutarto di pemerintahan Soeharto, juga tak kalah bergengsi. Ia bahkan dipercaya sebagai Kamondan Garuda Indonesia yang menjadi anggota korps Pasukan Penjaga Perdamaian PBB.
Sutarto juga satu di antara sedikit jenderal yang pernah berada di lingkaran kekuasaan dari 5 Presiden,: Soeharto, Habibie, Gus Dur, Megawati dan SBY. Kalau boleh membuat takaran, secara de facto, Endriartono Sutarto tak boleh lagi bilang: belum cukup puas !
Nah kalau mereka masih bercita-cita menjadi Presiden kemudian untuk cita-cita itu mereka harus berjuang keras, termasuk rela mengeluarkan uang yang tidak sedikit, lalu apa sebetulnya motif untuk menjadi Presiden?
Bukankah mengeluarkan dana yang begitu besar demi memenangkan perebutan kursi Presiden, sudah sama dengan membeli sebuah kekuasaan ? Akan kuat dan langgengkah kekuasaan yang dibeli dengan uang ? Patutkah sebuah kekuasaan dibeli ?
Pertanyaan lain, kalau sudah tercapai cita-cita yaitu memenangkan perebutan kursi Presiden, apakah mungkin tidak ada keinginan, tidak tergoda untuk memperoleh kembali dana yang sudah dikeluarkan?
Pertanyaan ini jika terus dikembangkan, bakal menjadi sebuah siklus yang terus berputar. Mirip sebuah lingkaran setan, susah untuk berhenti. Pembicaraan tentang kekuasaan dan kursi Presiden RI, kurang lebih sama, akan terus berulang dan berulang serta berputar. Pembicaraan dan pertanyaan tentang kekuasaan dan kursi RI-1, boleh jadi akan berbeda setelah Pemilu 2014 sudah kita lalui.
Jadi di tengah maraknya jenderal-jenderal ingin merebut kejayaan, serahkan hasilnya pada perjalanan zaman. Kita perlu menunggu Pemilihan Umum Presiden 2019, dimana pertanyaan dan pembicaraan soal kekuasaan Presiden, tidak lagi berfokus pada keikutsertaan para jenderal pensiunan.
Sebab pada 2019 itu masyarakat sipil di Indonesia diperkirakan sudah tumbuh kuat. Jaringannya pun semakin luas. Pemimpin yang berlatar belakang pendidikan militer, boleh jadi juga sudah menepi atau kalau masih ada, pemahaman tentang kekuasaan, sudah sama dengan masyarakat sipil.
Jika sudah begitu, akhirnya, Pemilu Presiden tidak akan menjadi ajang pertarungan para bintang. Pemilu Presiden ke depan, benar-benar sebuah pesta demokrasi, bersih dari perburuhan kekuasaan yang mengandalkan uang dan uang semata.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar