Fun To Victory
Letusan Gunung Krakatau yang mahadahsyat 130 tahun lalu tidak hanya
berarti musibah. Letusan itu, setidaknya berdampak dalam munculnya titik
balik perlawanan terhadap penjajah Belanda di wilayah Banten, wilayah
paling parah menjadi korban letusan Krakatau.
Letusan Krakatau
menimbulkan tsunami setinggi 30 meter yang meluluhlantakkan pantai Barat
Jawa dan menghancurkan Anyer, Merak, dan Carita. Sebanyak 36 ribu orang
lebih tewas. Musibah itu menambah penderitaan rakyat yang sudah
sedemikian terpuruk karena wabah penyakit ternak pada 1879 dan wabah
penyakit demam yang menewaskan 10 persen penduduk tahun berikutnya.
Sejarawan
Universitas Gadjah Mada, Sartono Kartodirdjo mengungkap pengaruh
letusan Krakatau terhadap pemberontakan besar petani Banten pada 1888,
lima tahun setelah letusan Krakatau. "Tak disangsikan lagi bahwa wabah
penyakit ternak dan wabah demam serta kelaparan yang diakibatkannya dan
letusan Gunung Krakatau yang menyusul telah merupakan pukulan yang hebat
bagi penduduk: akibat merosotnya populasi ternak dan jumlah tenaga
manusia yang tersedia, sekitar sepertiga dari tanah pertanian yang tidak
dapat ditanami selama bertahun tahun bencana itu (1880-1882), sementara
letusan Gunung Krakatau menyebabkan luas tanah yang tidak dapat digarap
menjadi lebih besar lagi," demikian tulis Sartono dalam penelitiannya
Pemberontakan Petani Banten 1888.
Awal mula gerakan muncul pada 2
Oktober 1888, dua bulan setelah letusan. Seorang serdadu Belanda yang
hendak membeli tembakau di Pasar Serang tiba-tiba saja diserang oleh
seorang lelaki tak dikenal. Korban mencari perlindungan di sebuah toko
China sementara pelaku kabur. Penangkapan dilakukan besar-besaran tetapi
pelaku tak ditemukan.
Percobaan pembunuhan lainnya terjadi pada
19 November tahun yang sama. Kali ini, seorang pria masuk dengan paksa
ke dalam tangsi militer di Serang. Setelah melukai penjaga bernama Umar
Jaman, dia ditangkap. Para interogator militer menyatakan dalam laporan
mereka bahwa motif serangan adalah kasus semangat ekstrem yang tidak
bisa dijelaskan.
Menurut Sartono Kartodirdjo, pada hari-hari
malapetaka itu, rakyat teringat kepada ramalan yang telah menyebut
berbagai tanda kedatangan hari Kiamat. Rakyat diingatkan oleh Tuhan
untuk bertobat serta sadar akan jalan tersesat yang ditempuh umat
manusia, yaitu hidup di bawah pemerintahan kaum kafir Belanda.
Sejak
peristiwa itu kehidupan beragama meningkat dan harapan rakyat terarah
kepada suatu pembebasan. Peristiwa di Serang itu merupakan suatu awal
dari periode panjang perjuangan rakyat yang berpuncak pada 1888 dengan
sebutan pemberontakan petani Banten atau Geger Cilegon. Pemberontakan
itu dianggap sebagai titik balik sejarah perjuangan mengusir penjajah
dari tanah Banten.
Di antara pejuang pada pemberontakan petani
Banten antara lain Haji Wasid, Haji Abdurahman, Haji Akib, dan Ki
Tubagus Ismail. Menurut Sartono, meskipun mereka pejuang yang namanya
tidak begitu terkenal mereka adalah tokoh sejarah yang mengorbankan jiwa
demi tegaknya martabat Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar