Fun To Victory
Indonesia kini tengah serius membangun kekuatan militer. Kementerian 
Pertahanan membeli sejumlah alat utama sistem persenjataan canggih dari 
luar negeri. Aneka senjata baru itu akan menggantikan sejumlah peralatan
 perang yang sudah layak masuk museum.
Tak hanya belanja dari 
luar, Indonesia pun kini mengembangkan industri pertahanan dalam negeri.
 Dengan sistem transfer teknologi atau TOT, Indonesia ingin bisa 
memproduksi peralatan tempur di dalam negeri.
Tahun 2011, 
Indonesia menyambut tangan Korea Selatan untuk membangun jet tempur yang
 diberi nama Korea Fighter Experiment/Indonesia Fighter Experiment. 
Pesawat ini lebih mutahir dibanding F-16 C/D atau F-18. Namun masih di 
bawah F-35 dan F-22.
Proyek besar ini makan biaya USD 8 miliar. 
Pembagiannya, Korea Selatan 80 persen dan Indonesia 20 persen. USD 1,6 M
 atau Rp 16 triliun akan dikucurkan bertahap oleh Indonesia. Diharapkan 
tahun 2024 saat proyek ini rampung Indonesia punya minimal 24 pesawat 
tempur tersebut.
Indonesia pun sudah memberangkatkan 37 teknisi dan ilmuwan untuk mempelajari KFX ke Korea Selatan. 
Tapi harapan tak sesuai kenyataan.
Maret
 2013, kabar tak sedap datang dari Korea Selatan. Pemerintah negeri 
ginseng itu secara sepihak menunda proyek KFX/IFX. Alasan politik dan 
transisi pemerintahan dalam negeri mereka jadi pertimbangan Korea 
Selatan. KFX/IFX ditunda paling tidak untuk 1,5 tahun. Korea membantah 
mereka menghentikan kerjasama tersebut.
"Proyek (KFX/IFX) ini 
tidak dihentikan. Ini proyek jangka panjang, sehingga tidak perlu 
tergesa-gesa. Kami masih mengkaji kelayakannya, selain itu juga ada 
upaya untuk mengadopsi teknologi-teknologi terbaru untuk 
diimplementasikan ke dalamnya," ujar Duta Besar Korea Selatan untuk 
Indonesia, Kim Young-sun, April lalu.
Menteri Pertahanan Purnomo 
Yusgiantoro memberikan keterangan serupa. Purnomo menjelaskan KFX hanya 
ditunda. Kerjasama Korsel dan Indonesia tetap berjalan. Bahkan Korsel 
katanya mau mengembangkan pesawat sekelas F-35 Lightning II buatan 
Lockheed Martin.
"Kita sudah sampaikan ke pihak Korea, apa pun 
yang akan dikembangkan, kita ikut. Kita share 20 persen," kata Purnomo 
bulan Mei lalu.
Masalah dengan Korea Selatan tak cuma soal KFX yang ditunda. 
Seperti
 diketahui, Indonesia telah memesan tiga kapal selam kelas Changbogo 
dari Korea Selatan. Kesepakatannya, satu kapal diproduksi di galangan 
Daewoo Shipbuilding Marine Engineering co Ltd. Kapal selam kedua 
diproduksi di galangan yang sama oleh ahli dari kedua negara. Yang 
ketiga akan dikerjakan di galangan PT PAL oleh ahli Indonesia.
Lagi-lagi
 Korsel tak menepati kesepakatan awal. Mereka tak mengizinkan alih 
teknologi. Para ahli Indonesia yang sudah dikirim tak diberi kesempatan 
ikut merakit kapal selam. Para ahli Indonesia hanya boleh melihat-lihat 
saja. Ini jelas melanggar kesepakatan awal, karena ditegaskan di awal, 
pihak Indonesia harus mendapat transfer teknologi. Padahal harga kapal 
selam itu tak murah. Satu kapal selam berharga USD 350 juta atau Rp 3,5 
triliun.
Korea Selatan beralasan pesanan di galangan Kapal Daewoo
 sangat banyak. Mereka takut kena denda jika pesanan kapal tak selesai 
tepat waktu. Sejumlah alasan seperti keselamatan pekerja, dan sulitnya 
produksi kapal selam dikemukakan Korsel. 
Wakil Ketua Komisi I TB
 Hasanuddin menyayangkan hal ini. Dia menilai pembangunan kekuatan 
militer Indonesia terhambat. Percuma membeli persenjataan dari luar 
negeri jika tidak diikuti transfer teknologi.
"Bagaimana ini 
bargaining Kemhan. Mengacu kepada aturan pembelian alutsista, harus ada 
transfer teknologi, berapa persen kandungan lokalnya, itu harus jelas. 
Sesuai dengan kesepakatan awalnya," kata TB Hasanuddin kepada 
merdeka.com, Minggu (2/9).
Menurutnya Komisi I tak akan 
membiarkan masalah ini. Dalam waktu dekat pihaknya akan memanggil 
menteri pertahanan untuk menanyakan masalah kapal selam.
"Kalau kemudian terjadi di luar itu dan tidak sesuai, kita akan tanya," tutupnya.

 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar